This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 13 Februari 2015


Ini Alasan Islam Muliakan Sosok Ibu



Oleh: H Dadang Kahmad 

REPUBLIKA.CO.IDRasanya miris dan menyedihkan menonton banyak berita tentang anak yang menggugat ibu kandungnya yang telah tua renta ke pengadilan. Kesalahan seberat apakah yang telah dilakukan sang ibu sehingga si anak setega itu? Apakah tidak ada lagi cara yang lebih bermoral? Sedih, iba, dan ironis, apalagi mereka itu sama-sama beragama Islam.

Padahal, Rasulullah SAW saat didatangi seorang sahabat dengan jelas menyatakan bahwa ibu harus dimuliakan. "Ya Rasulullah, siapakah yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?'' tanya sahabat. Rasulullah menjawab, ''Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian, yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu." (HR Bukhari Muslim)

Memang saat ini banyak ibu yang tega membuang anaknya. Namun, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan mereka yang mulia, mengurus anak dan suaminya dari sebelum Subuh hingga larut malam. Saat suami dan anak-anaknya belum bangun, ibu sudah mulai bekerja. Pada malam hari ketika semua anggota keluarga tidur, barulah beliau beristirahat.

Mari kita telaah lebih jauh lima ayat pertama yang diwahyukan, surah al-'Alaq:1-5, mencerminkan betapa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW begitu mengagungkan kedudukan kaum ibu. Al-'Alaq salah satu maknanya adalah sesuatu yang menggantung di dinding rahim.

Perintah "membaca" berkali-kali tentu saja bukan sekadar membaca teks, melainkan bermakna luas, membaca diri dan alam raya yang luas. Lima ayat pertama itu mengajak kita merenungi asal mula kejadian diri, bahwa kita semua, kecuali Adam dan Hawa, pernah tinggal dalam rahim ibu. Kedudukan atau status sosial setinggi dan semulia apa pun, semuanya berasal dari rahim seorang ibu. Tak pantas untuk menyombongkan diri. Semuanya sama, berasal dari Allah lewat pintu rahim yang dititipkannya sebelum lahir ke dunia ini.

Pantaslah Allah SWT murka jika seorang anak lupa diri dan durhaka kepada kedua orang tuanya. Jangankan membantah, apalagi memarahi, mengatakan "ah" saja tidak boleh. "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia." (QS al-Isra:23).

Allah mengingatkan supaya menghormati kedua orang tua seperti yang disampaikan dalam surah Luqman ayat 14: "Dan Kami (Allah) berwasiat kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua. Ibunya telah mengandungnya dengan menderita kelemahan di atas kelemahan, yakni terus-menerus dan masa menyusuinya dalam dua tahun. Hendaklah engkau bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu."

Ayat di atas memberikan ilustrasi nyata betapa seorang ibu berkorban jiwa raga demi kelahiran anaknya. Mengandung sembilan bulan, kepayahan, kemudian sebelum melahirkan dirinya bertaruh nyawa. Maka, amat pantas jika Allah menempatkan seorang ibu dalam posisi kedua yang harus dimuliakan setelah manusia mengabdi kepada Allah sebagai Tuhannya.

Kedudukan mulianya memang wajar. Sejak dalam rahimnya, seorang anak bergantung pada ibu. Lewat tali ari-arinya seorang anak dalam rahim menyerap makanan yang ada dalam diri ibunya. Ketika seluruh organ tubuhnya terbentuk dan diberi nyawa, seorang ibulah yang merasakan getarannya sehingga kedekatan kita dengan ibu sudah terjalin sejak ada dalam rahimnya.

Setelah lahir dan besar, ibu pula yang berperan mengajarkan ilmu dalam bertutur kata dan menyerap ilmu kehidupan. Maka, pantaslah jika kemudian dikatakan bahwa "Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu." Dengan peranan seorang ibu, anak manusia dapat melangkah menggapai surga.

Memuliakan ibu dan ayah sama dengan memelihara kemajuan peradaban kemanusiaan. Begitu tingginya kedudukan orang tua sehingga berkhidmat kepadanya setara dengan berjihad di jalan Allah. Wallahu'alam.

 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/15/02/09/njhua6-ini-alasan-islam-muliakan-sosok-ibu

Siapa Figur Muslim Sejati Menurut Rasulullah?



Oleh: Muhammad Syamlan/Republika.com
        Emas adalah logam istimewa. Dialah mata uang pertama dan mata uang yang sesungguhnya. Karena, dia bisa menjadi standar nilai suatu barang ataupun jasa secara konstan.

        Emas juga memiliki keistimewaan tak bisa berubah dan tak bisa berkarat. Itulah maka emas disebut sebagai logam mulia. Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan orang mukmin (sejati) adalah seperti emas. Emas itu bila dibakar tak akan berkurang dan tak akan berubah.” (HR Baihaqi).

        Dalam kehidupan ini banyak tantangan, ujian, dan cobaan. Orang bisa saja jatuh bangun diempas badai godaan dunia. Banyak orang yang pagi tampil sangat baik, sorenya bergelimang dosa dan kemaksiatan. Sepanjang siang tampil sebagai sosok pemimpin yang berpidato berapi-api, malamnya bisa tenggelam dalam dekapan maut minuman keras, dansa, dan gelora syahwat.

        Dulu dikenal sangat alim, ternyata kini menjadi zalim. Dulu dikenal sangat pemurah, sekarang berubah menjadi pemarah. Dulu dikenal rajin ke tempat ibadah, sekarang rajin ke tempat pesta wanita. Dulu dikenal pemalu, tapi kini berubah menjadi tak ada rasa malu.

       Manusia mudah sekali berubah-ubah sesuai dengan tempat dan kondisi di mana dia berada. Saat berkumpul dengan orang-orang baik, dia bisa menjadi tiba-tiba baik. Saat berkumpul dengan orang-orang yang buruk, juga bisa tiba-tiba menjadi buruk.

       Kondisi pun sering kali memengaruhi manusia. Ada orang yang ketika kaya rajin beribadah dan pandai bersyukur kepada Allah, ternyata suatu ketika diuji dengan kebangkrutan harta lalu jatuh menjadi papa, tak bisa bersabar hingga akhirnya tak mau lagi ibadah. Dan, ada yang sebaliknya. Ketika masih miskin sangat khusyuk berdoa dan rajin ke masjid, tapi tatkala kaya tak lagi bisa berdoa dan tak mau lagi ke masjid beralasan karena sibuk.

       Manusia-manusia yang suka berubah-ubah seperti itu adalah manusia-manusia buruk, SDM yang berkualitas rendah. Orang yang bisa baik ketika kaya saja adalah buruk. Orang yang bisa baik hanya di saat miskin juga buruk. Orang yang bisa baik hanya di saat berkumpul dengan orang-orang baik adalah buruk.

       Manusia yang unggul adalah manusia yang kepribadiannya laksana emas, di kala sulit baik dan di kala mudah juga baik. Berkumpul dengan orang-orang yang baik dia baik dan berkumpul dengan orang-orang yang buruk dia tetap baik.

      Seperti emas, tak pernah berkarat, tak pernah berubah meski dibakar, dan tak bisa menjadi kurang. Emas tetap emas, sekalipun jatuh di comberan atau tempat sampah. Itulah orang beriman sejati. Bukan hanya beriman di mulut. Bukan beriman semata karena keturunan. Bukan juga beriman karena orang-orang semua mengaku beriman.

      Orang yang benar-benar beriman adalah memiliki kepribadian yang kokoh. Ujian apa pun yang datang kepadanya tak pernah membuat ia berubah. Dicaci atau dipuji tetap takkan menyurutkan langkahnya menegakkan kebenaran. Datang ujian jabatan atau kekayaan tak membuatnya lupa kepada Allah.

    Bergumul di lingkungan para penyamun, ia pun tak ikut menjadi penyamun. Di manapun dan dalam kondisi apa pun dia tetap tegak berdiri, berbicara, bertindak dan berakhlak sebagai orang yang beriman. Yaitu, berbuat dan menebar kebaikan.

   Tak peduli, kebaikan itu tumbuh dan diterima oleh orang banyak atau kering dan ditolak. “Sesungguhnya, kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (al-Insan: 9).

 http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/15/02/10/njjttz-siapa-figur-muslim-sejati-menurut-rasulullah