Islamisasi Ilmu Psikologi: Antara Memilah dan Memilih
SEPERTI diketahui, ilmu pengetahuan kontemporer saat
ini didominasi oleh Barat. Kata “Barat” yang dimaksudkan dalam tulisan
ini adalah pemikiran, bukan bangsa. Ciri-ciri pemikiran Barat salah
satunya adalah mengabaikan aspek metafisik (ghaib), seperti wahyu,
Tuhan, atau malaikat. Dominasi pemikiran tersebut dapat terlihat dari
banyaknya buku-buku dari Barat yang digunakan sebagai acuan dalam
perkuliahan. Bagaimanapun juga pemikiran Barat memiliki sisi positif
yang bermanfaat bagi ummat manusia. Contoh yang dapat ditemukan di
bidang psikologi adalah metode pengukuran dalam psikometri, konsep
empati, konsep pola asuh dalam mendidik anak, konsep kognisi seperti
memori, berbagai teori motivasi, dan masih banyak lainnya. Semua itu
bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bagi Muslim.
Majunya psikologi kontemporer yang kebanyakan membahas tingkah laku
memang memberi sumbangan bagi Muslim, namun ada satu hal yang tidak
tercakup di dalamnya, yaitu konsep jiwa. Psikologi Barat cenderung hanya
membahas tingkah laku baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat
secara langsung (seperti aktivitas mental). Tidak bermaksud menafikkan
aspek tingkah laku karena itu penting dalam kehidupan manusia (Amber
Haque), yang disayangkan adalah tidak adanya aspek jiwa dalam pembahasan
Psikologi Kontemporer, sementara dalam Islam jiwa mempengaruhi tingkah
laku manusia.
Kita semua sebagai Muslim patut bersyukur karena Islam memiliki
konsep jiwa pada manusia, jiwa yang tentu dapat mempengaruhi tingkah
laku.
Imam Al-Ghazali dalam buku “Keajaiban Hati” menyatakan bahwa jiwa
manusia memiliki empat komponen, yaitu ruh, qalb, nafs, dan ‘aql. Semua
itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan masing-masing memiliki fungsi
tersendiri namun saling berhubungan. Salah satu contoh adalah qalb yang
dapat berfungsi sebagai “raja” bagi “kerajaan” jiwa manusia, mampu
menangkap pengetahuan tentang Allah, hal-hal spiritual, termasuk
baik-buruknya sesuatu. ‘Aql dapat berfungsi sebagai “penasihat” dan
menundukkan hawa nafsu. Keduanya berperan dalam konsep ‘iradah
(kehendak), yang prosesnya sebagai berikut: seseorang dengan akalnya
dapat menangkap dan melihat akibat dari suatu masalah lalu mengetahui
jalan terbaiknya. Muncul kemauan, lalu bertindak ke arah kebaikan
Konsep ‘iradah tersebut jika diperhatikan mirip dengan konsep
motivasi yang juga masih dibahas dalam psikologi kontemporer. Terdapat
kebaikan sebagai tujuan, tindakan sebagai aktivitas, kemauan sebagai
dorongan dan semua itu merupakan proses. Seperti yang disampaikan oleh
Schunk et al. (2010), yang menyatakan bahwa motivasi adalah proses di
mana aktivitas yang mengarah pada tujuan, memiliki dorongan dan bertahan
lama. Dari contoh hubungan konsep-konsep tersebut, dapat diketahui
bahwa Psikologi dalam Islam sudah ada dari dulu dan psikologi
kontemporer dapat disandingkan dengan Islam. Tentu juga bermanfaat bagi
Muslim, ketika ilmuwan Muslim dapat memilah, memilih, dan menggunakan
ilmu kontemporer secara bijak.
Benar-benar indah jika ilmuwan Muslim dapat memilah dan memilih
dengan bijak, namun apa yang terjadi sekarang? Ilmuwan Muslim menjiplak
pemikiran dan produk psikologi Barat, dengan menggunakan paradigma Barat
dalam memandang berbagai fenomena. Tidak heran jika banyak yang
berpendapat bahwa agama, keyakinan, atau hal-hal ghaib yang berlaku
dalam Islam tidak berlaku dalam aktivitas keilmuan psikologi. Tidak
heran juga ketika banyak ilmuwan psikologi yang tidak menggunakan Islam
sebagai worldview dalam meneliti, konseling, ketika belajar, dan
menyikapi berbagai teori. Tidak melibatkan Allah dalam motivasi,
berorientasi pada kemauan klien ketika konseling, menerima begitu saja
kesimpulan penelitian yang bertentangan dengan Islam. Ada sebagian dari
ilmuwan Muslim yang tersesat, menjadi agnostik atau ateis. Itu yang
menjadi masalah bagi kita sebagai Muslim. Hal itu menunjukkan sebagian
ilmu pengetahuan yang beredar sekarang ini menjauhkan manusia dari
Allah, padahal dalam pandangan Islam ilmu justru membuat manusia
mendekatkan diri pada Allah.
Fenomena itu cukup memprihatinkan dan perlu menjadi perhatian bagi
Muslim, sehingga perlu ada upaya Islamisasi ilmu. Gagasan Islamisasi
ilmu kontemporer salah satunya dicetuskan oleh Prof. Al-Attas. Menurut
Prof S.M.N. Al-Attas, Islamisasi merupakan usaha menjadikan pemikiran
Muslim terbebas dari hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga
banyak di antara Muslim yang memiliki Islamic worldview. Segala hal pun
dipandang dari sudut pandang Islam oleh Muslim, bukan sudut pandang yang
justru bertentangan dengan Islam. Pemikiran Muslim yang sudah memiliki
Islamic worldview akan menghasilkan ilmu yang dapat mendekatkan diri
pada Allah, bukan yang bertentangan dengan Islam.
Perlunya Islamisasi ilmu juga berlaku di bidang psikologi karena
tidak semua Psikologi Kontemporer dapat diterima dan diaplikasikan pada
Muslim. Prof. Malik Badri (sebagai pelopor Islamisasi ilmu) dalam
artikelnya menekankan perlunya adaptasi terhadap Psikologi Barat,
karena tanpa adaptasi Psikologi Barat dapat merugikan atau tidak berguna
bagi Muslim. Perlu diingat juga bahwa Psikologi Barat tidak membahas
unsur jiwa, yang dalam Islam justru sangat diperhatikan. Kekurangan pada
Psikologi Barat tetap disikapi dengan bijak. Adaptasi dilakukan hanya
pada psikologi yang bertentangan Islam, sedangkan hasil pemikiran yang
tidak bertentangan, sekalipun itu dari Barat dapat dimanfaatkan oleh
Muslim. Prof. Malik Badri menggunakan terapi dengan cara Islami dan
berhasil membantu banyak kliennya sembuh. Beliau dalam buku “Dilema
Psikolog Muslim”, menceritakan pengalaman membantu menyembuhkan klien
dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy yang dipadukan dengan
pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dari contoh tersebut dapat diketahui
bahwa ilmuwan Muslim dapat menggunakan tes inteligensi, teknik
pembuatan alat ukur psikologis, metode penelitian eksperimental,
konseling dengan empati, dan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan
Islam. Semua itu dapat digunakan tentu dengan sikap yang bijak.
Ilmuwan psikologi yang memiliki pemikiran Islami meyakini Allah
sebagai Rabb, Islam sebagai ad-Din, dan manusia juga sebagai makhluk
spiritual yang memiliki jiwa. Dia dalam tiap aktivitas keilmuan
psikologi akan ingat bahwa yang diperhatikan bukan sebatas tingkah laku
yang terlihat atau terukur. Ada unsur lain di luar itu turut
mempengaruhi tingkah laku, yaitu jiwa. Pemikiran seperti itu akan
berdampak baik bagi Islamisasi Psikologi. Psikolog Muslim akan menjaga
kondisi jiwanya agar selalu bersih dari penyakit hati, sehingga dapat
membantu para klien sembuh dari gangguan dengan terapi yang melibatkan
aspek jiwa dan mangadopsi metode dari Barat yang tidak bertentangan
dengan Islam. Peneliti Muslim akan kritis dalam menyikapi kesimpulan
penelitian yang dibaca. Ketika bertentangan dengan Islam, akan dilakukan
adaptasi, salah satunya dengan cara menggunakan Islamic worldview dalam
menginterpretasikan hasil penelitian. Akan ada usaha memilah mana yang
baik dan buruk untuk Muslim, kemudian memilih yang baik, demi
keselamatan ummat Islam.
Keselamatan ummat Islam dari hal-hal yang merugikan menjadi fokus
dalam Islamisasi ilmu. Tidak bermasuk ekslusif, karena Islam merupakan
rahmatalil ‘alamin, namun tidak memaksakan orang-orang selain penganut
Islam untuk mengikuti ajarannya. Itu juga berlaku pada psikologi yang
perlu diadaptasi, agar pada akhirnya ilmu psikologi yang beredar pantas
untuk Muslim.
Adaptasi sebagian ilmu psikologi, sebagai salah satu cara Islamisasi
ilmu, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara dapat berbeda,
asal esensinya sama. Penggunaan label “Psikologi Islam” atau “Psikologi
Islami” semestinya tidak perlu dijadikan masalah, apalagi diperdebatkan.
Islam saja memiliki madzab-madzab yang penganutnya tersebar di seluruh
dunia, namun semuanya tetap Islam. Sekarang bukan saatnya
mempermasalahkan perbedaan cara, namun mempermasalahkan ilmu psikologi
yang harus diadaptasi. Masih ada tugas yang lebih penting dan harus
dikerjakan oleh ilmuwan Muslim di bidang psikologi: mencerdaskan pelajar
Muslim yang belum paham mengenai permasalahan ilmu, agar banyak yg
dapat memilah dan memilih, sehingga tercipta produk-produk psikologi
yang dapat dimanfaatkan oleh ummat Islam.
Itu memang tugas yang berat untuk Islamisasi Psikologi. Dibutuhkan
waktu yang panjang dan usaha yang keras. Islamisasi ilmu Psikologi tidak
akan lengkap tanpa kesucian hati dan keyakinan terhadap Islam itu
sendiri. Semoga kita termasuk orang-orang yang terlibat dalam Islamisasi
ilmu Psikologi baik secara langsung maupun tidak langsung, sampai
akhirnya Psikologi yang kita terima merupakan ilmu yang dapat
mendekatkan diri pada Allah. Dengan begitu, ummat Islam dapat memperoleh
keselamatan dunia dan akhirat. Wallahu’alam.*
Penulis Penggiat Komunitas Penggenggam Hujan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1991). Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Badri, Malik. Dilema Psikolog Muslim.
Badri, Malik. The Islamization of Psychology Its “why”, its “what”, its “how” and its “who”. Artikel dapat diunduh di http://i-epistemology.net/psychology/60-the-islamization-of-psychology-i….
Imam Al-Ghozali. Keajaiban Hati. Penerbit Khatulistiwa.
Schunk, D. H., Pintrich, P. R., Meece, J. L.
(2010). Motivation in Education: Theory, Research, and Applications. New
Jersey: Pearson Prentice Hal
0 komentar:
Posting Komentar